Selasa, Maret 08, 2011

Metamorfoblus: Film Slank Untuk Slankers



ANDA menonton Generasi Biru tahun lalu? Saya nonton. Di bioskop yang sama saya melihat beberapa remaja tanggung yang saya kira pengagum Slank alias Slankers.

Belum sampai dua pertiga film, kumpulan remaja tanggung Slankers keluar bioskop duluan. Ada apa ini? Masak Slankers tak tahan nonton film Slank sampai habis?

Sebetulnya, andai tidak meniatkan diri mengulas filmnya usai nonton, saya juga mungkin akan memilih keluar. Tapi, bagi pengulas film, haram tak nonton film sampai habis lalu memberi nilai. Walau tak suka, saya tonton Generasi Biru sampai kelar.

Kritik saya pada Generasi Biru adalah bahwa Slank dan Garin Nugroho (sutradaranya) ternyata tak cocok. Dua nama besar itu malah mencipta sebuah chaos ketika kolaborasi bareng. Garin menafsir Slank macam-macam lewat lagu-lagunya yang kemudian dikoreografi ulang. Hasilnya, tak lebih dari video klip yang panjang. Ada Slank begini, Slank begitu mengikuti alunan lagu dalam tafsiran Garin. Di sini berarti, Garin menyuguhi segala simbolisme yang jadi ciri khasnya ke dalam lirik-lirik lagu Slank. Lagu-lagu Slank yang slengean, slebor, tidak canggih, tidak nyastra mendadak jadi mengawang-awang, avant garde, bercita rasa seni tinggi. Hal ini mungkin yang membuat sejumlah Slankers yang menonton bersama saya tak tahan menonton sampai habis. Mereka merasa tak sedang menonton Slank yang mereka akrabi. Mereka malah disuguhi Slank yang nyeni, meliuk menari bak suguhan teater dan tari kontemporer di Taman Ismail Marzuki yang tentu, bukan tempat yang diakrabi kaum Slankers.



Slankers bergaya.
Saya tak hendak mengatakan Slank tak boleh “naik kelas” jadi nyeni. Atau, saya juga tak hendak bilang daya tangkap Slankers demikian payah untuk menafsir suguhan Garin. Persoalannya semata karena Garin sendiri yang mencampur aduk berbagai lagu Slank hingga seperti suguhan sejumlah video klip yang masing-masing berdiri sendiri dan tak punya jalinan cerita yang ajeg alias enak untuk diikuti.

Meski begitu, ada bagian di Generasi Biru yang mungkin disuka Slankers. Yakni bagian dokumentasi Slank manggung dan tingkah Slankers di Batam hingga Timor Leste.

Bagian dokumenter Slank adalah hasil kerja Dosy Omar. Tapi, Generasi Biru adalah karya Garin. Dokumenter Dosy yang lebih pas menggambarkan Slank dan Slankers harus minggir.

Saat nonton Generasi Biru, saya mengidamkan dokumenternya jadi film tersendiri. Syukurlah, sineasnya dan Slank pun berpikiran sama.

Hasilnya bisa kita saksikan kini sebagai film berjudul Metamorfoblus. Inilah jahitan gambar-gambar yang dibuang sayang dan tak muncul di Generasi Biru. Sebagai sebuah jahitan, Dosy Umar menggunakan dua jenis bahan: Slank dan Slankers.

Lewat Metamorfoblus kita melihat personel Slank sampai ke dapur mereka. Kita melihat personel Slank dari mulai bangun tidur, keseharian mereka di rumah, di mobil, manggung, dan macam-macam. Yang paling asyik buat saya adalah saat personel Slank menyanyi di kamar mandi, menyanyikan lagu “Hei Sista.” Lagu ini tak pernah muncul di album Slank manapun. Mencermati lagunya, saya teringat lagu-lagu Beatles saat band itu sedang ketagihan LSD dan terpesona pada budaya India. Aroma bebunyian khas India di lagu “Hei Sista” membawa saya pada Beatles. Dan menontonnya di sini adalah kesempatan langka yang sayang buat dilewatkan.


Selain itu, kepada kita, Slank bicara banyak hal. Terutama soal mereka yang kecanduan narkoba—sebuah topik yang sepertinya tak bisa dilepaskan dari Slank. Kita tahu, hingga awal 2000-an Slank kecanduan narkoba. Kemudian mereka memproklamirkan diri bebas dari narkoba. Yang saya sempat kaget dari film ini adalah sikapnya yang ambigu kepada narkoba. Dalam satu wawancara, Kaka dengan jujur mengatakan narkoba justru memberi kontribusi bagi kreativitas mereka. Ia memberi kredit khusus pada narkoba. Dari pergumulan Slank dengan narkoba, kata Kaka, Slank menghasilkan 9 album.


Slank saat manggung di Timor Leste.
Kenyataan ini seolah hendak mengatakan narkoba, pada titik tertentu, memang ada gunanya. Bikin kreatif. Jika tak bisa mencernanya dengan jernih jangan-jangan orang malah lari ke narkoba demi kreativitas. Selain itu, ada pula saat-saat Bimbim lebih milih ngebir di ruang karaoke ketimbang pulang usai manggung. Sebagai suguhan gambar, bagian ini ciamik karena menunjukkan sineasnya mendapat keistimewaan bersama Slank setiap saat. Tapi, sebagai sebuah bagian film yang utuh, bagian ini memperlihatkan Slank yang masih akrab dengan hal-hal yang diharamkan (di luar narkoba). Jika ingin memperlihatkan Slank sebagai panutan, bagian ini justru membalikkan niatan itu.

Yang juga kurang lengkap dan ajeg dari dokumenter ini adalah sejarah Slank. Di film ini, sineasnya seolah alpa membahas kelahiran Slank dari awal. Kita langsung disuguhi Slank masa kini dengan Bimbim (drum), Kaka (vokal), Ivanka (bas), Abdee (gitar), dan Ridho (gitar). Sineasnya seperti hendak mengandaikan Slank dari dulu ya personelnya yang ada sekarang itu. Padahal, sebagai band yang sudah lebih dari 20 tahun berdiri, Slank punya sejarah panjang gonta-ganti personel. Yang paling menyita perhatian tentu saat Bimbim dan Kaka memecat Bongky, Pay dan Indra sekaligus. Ditengarai, mereka dipecat karena sudah terlalu ketagihan narkoba dan tak fokus lagi pada Slank. Jika ingin menyoroti Slank dalam kubangan naarkoba, peristiwa pemecatan itu mestinya masuk film. Tidaklah sulit mencari potongan berita soal Slank. Apalagi sineasnya dapat all access bersama Slank.


Amat disayangkan bagian sejarah Slank tak muncul barang secuil di film ini. Makna metamorfosis yang diangkat jadi judul sepertinya tidak lengkap karena kita tidak lihat bagaimana Slank bermetamorfosis dari dulu sampai sekarang.

Kendati begitu, Metamorfoblus tetaplah karya ciamik dengan segala kekurangannya itu. Inilah film dokumenter yang berhasil menyoroti Slank sebagai group band rock ‘n roll terbesar yang dipunyai negeri ini. Tak peduli sekarang sedang zamannya musik Melayu, Slank tetap yang terbesar.


Orang tua juga ikut menikmati Slank.
Terutama bila kita mengikuti bagaimana tingkah polah Slankers di film ini. Ada sejumlah Slankers yang jadi fokus cerita film. Ada seorang polisi di Batam berambut Mohawk yang punya kartu anggota Slankers. Rumahnya dipenuhi foto dan poster Slank. Ada pula seorang Slankers korban narkoba di Yogyakarta yang pakai narkoba demi meniru Slank dan kemudian sadar berkat surart yang ditulis khusus oleh Bimbim dan Bunda Iffet (ibunda Bimbim yang juga manager Slank) untuknya. Sang ayah pemuda itu berusaha menemui Slank saat konser di kotanya untuk khusus berterimakasih. Melihat sang ayah berpeci menangis saat menonton Slank benar-benar pemandangan yang menggetarkan.

Ada pula kisah kegigihan Slankers Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang sangat ingin menonton Slank di Dilli, Timor Leste. Mereka sampai mendadak bikin paspoor untuk bisa masuk Dilli. Di Kupang, ada 2 orang yang tak dapat paspor. Gagal di Kupang, mereka buat paspor di kota lain.


Polisi Slanker.
Sampai di Dilli, kita disuguhi pemandangan yang tak kalah menggetarkan. Slank begitu dipuja oleh pemuda-penuda Timor Leste. Tak ada aura permusuhan di antara dua negara yang pernah berseteru karena pisah tahun 1999 itu. Slank menjadi duta besar rock ‘n roll yang disambut lasngsung sang presiden Timor Leste Xanana Gusmao. Melihat bagaimana Slankers Kupang (Indonesia) dan Slankers Dilli (Timor Leste) bersatu penuh persahabatan sangat mengharukan.

Melihatnya seperti menonton orang-orang yang bahagia sudah menemukan “Pulau Biru” mereka bersama Slank. “Pulau yang indah bagai sorga/Manusia bijaksana hidup penuh dengan kesenangan.” ***

CATATAN: Jangan mencari film ini di bioskop umum. Sineasnya hanya akan memutarnya keliling kota di Indonesia. Dari rilis yang kami dapat, film ini akan diputar unuk umum di Jakarta pada 7 November, Bogor (13 November), Bekasi (14 Oktober), dan Cirebon (20 November).


1 komentar:

Yayan kae mengatakan...

plur

Posting Komentar