Rabu, Februari 16, 2011

Bunda Iffet, Slank, dan Narkoba




Tidak ada seorang orangtua pun di dunia yang tak terpukul melihat anaknya menjadi pemakai narkoba. Apalagi ia seorang ibu. Jenisnya putau lagi, yang biasanya berujung maut bagi para pemakainya.

Terbujuk rayuan teman di Bali 14 tahun lalu, Bimbim—penabuh drum grup musik Slank—dan keponakannya, Kaka—vokalis Slank—pun mencecapi ”obat langit” yang membuat pemakainya melayang-layang dan ketagihan.

”Waktu pertama kali mencoba (1994), mereka bilang badan jadi tidak enak. Muntah-muntah. Enek. Tapi kok besok paginya mencari lagi? Itulah putau, sekali pakai orang langsung ketagihan. Maka berlanjutlah ia memakai putau,” tutur Iffet Viceha Sidharta, akrab dipanggil Bunda Iffet oleh anak-anak Slank, pada hari terakhir tahun 2008 lalu.

Semenjak memakai jenis narkoba ini, Bimbim yang biasanya pendiam, rapi, tak suka teriak-teriak, tiba-tiba berubah. Demikian juga Kaka, sang keponakan.

Bikin repot dan sedih. Itulah pengalaman Bunda Iffet dengan anak dan keponakannya yang menjadi pemakai putau. Menyerahkah melihat kenyataan ini?

Bunda Iffet malah menghadapinya dengan sabar, sampai akhirnya anak dan keponakannya itu terbebas dari jerat narkoba yang mematikan ini.

+ Bagaimana mulanya bisa ketahuan Bimbim dan Kaka pakai narkoba?

- Sekitar tahun 1996, saya melihat ada yang enggak bener pada diri anak saya. Terciumlah bau, bahwa anak ini memakai sesuatu. Padahal, dia sudah mulai memakai dua tahun sebelumnya.

Mula-mula—menurut pengakuan Bimbim—awalnya pakai jenis narkoba yang gampang-gampang, pakai pil. Sampai suatu ketika mereka ke Bali sama Kaka. Di Bali, mereka ditawarin temannya. ”Ini ada barang baru, namanya putau,”

Kaka mula-mula tidak mengerti, kirain putao (minuman bir manis dari China). Lalu dia mengambil gelas. Orang itu bilang, bukan putao seperti itu, ini lain. Coba aja deh.

Dicobalah oleh mereka. Akhirnya berlanjutlah mereka memakai putau. Tingkah laku mereka berubah luar biasa.

Melihat gelagat tidak benar pada diri anak saya, maka masuklah saya, menangani manajemen mereka. Saya menjadi manajer Slank. Itu terjadi pada tahun 1996. Saya merasa bertanggung jawab terhadap mereka.

+ Bagaimana cara Bunda menghadapi mereka, setelah tahu mereka pemakai?

- Dari pengalaman, saya tahu bahwa anak yang kecanduan seperti itu tidak boleh dimarahin. Harus dihadapi dengan manis dan sayang. Karena biasanya, kalau kita tegur dengan marah, mereka akan tambah marah.

Saya dekati mereka. Slank ke mana pun perginya, saya ikut. Rupanya, masih ada juga rasa segan terhadap orangtua, meskipun mereka nyata-nyata sudah pakai putau. Tidak pernah mereka memakai di depan saya. Mereka ngumpet-ngumpet pakainya.

Saya ikuti mereka dengan sabar, setiap dua jam sebelum show, mereka saya ingatkan: siap-siap ya. Saya selalu menunggu dengan sabar di depan kamar, sambil bilang: ayo, lekas dong keluar. Betul-betul harus sabar dan tak boleh marah.

+ Adakah pengalaman pahit, saat kelompok musiknya melakukan tur, misalnya?

- Wah, macam-macam. Sungguh banyak pahitnya, mengurusi mereka ketika belum sembuh. Kalau mereka tengah sakau (ketagihan), sendi-sendi tubuh mereka sakit. Seperti patah.

Dalam keadaan seperti itu, mereka sering salah mengerti. Kita bilang: kamu kalau terus-menerus begitu bisa mati. Eh, mereka kira kita menyumpahi supaya mereka mati?

Banyak pengalaman pahit, dari sejak mereka pakai (1994) sampai tahun 1999. Pengalaman di Lubuk Linggau (1998) juga tak terlupakan. Mereka ”kehabisan barang”, sakau. Tidak ada orang jual barang seperti itu di Lubuk Linggau. Bimbim sampai tidak bisa bangun, di kamar. Padahal mereka masih harus melayani wartawan, wawancara. Tinggal Kaka, yang badannya lebih kuat, melayani wartawan, meski dengan susah payah.

Karena sudah tidak bisa mencari barang lagi, Bimbim dan Kaka bilang: kami harus pulang ke Jakarta. Padahal, kami waktu itu serombongan naik bus. Sesudah dari Lubuk Linggau, kami harus ke Bandung. Slank waktu itu memang tengah melakukan show di 30 kota Indonesia.

Biasanya, kita berombongan naik bus, kita buka tempat duduk di belakang. Diberi kayu dan kasur untuk tidur. Sampai sekarang masih ada kasur yang khusus kita pesan dan disesuaikan ukurannya untuk dipasang di bus itu.

+ Apakah mereka terus ikut dalam perjalanan darat dari Lubuk Linggau ke Bandung?

- Dua orang itu (Kaka dan Bimbim) sudah tidak mau lagi jalan darat. Sudah parah sakaunya. Yang tiga orang lainnya, Ivan (pemain bas), (gitaris) Ridho dan Abdee, dan juga saya meneruskan perjalanan naik bus. Sementara Bimbim dan Kaka harus naik mobil ke Bengkulu dulu, baru naik pesawat ke Jakarta. Dari Jakarta, mereka menyusul ke Bandung.

(Selain Kaka, pemain bas Slank Ivan juga pemakai, tetapi—kata Bunda Iffet—tak separah Kaka dan Bimbim. Sedangkan Ridho dan Abdee bersih, tak pakai narkoba).

Besoknya, Kaka dan Bimbim yang mendahului ke Jakarta dengan pesawat datang ke Bandung dengan ”gagah perkasa”. Seperti tak ada kejadian apa-apa. Sudah segar dari sakaunya.

Kejadian terulang (mereka sakau) ketika show di Mojokerto. Tiga pemain lainnya sudah duduk di acara jumpa pers, Bimbim dan Kaka masih memakai, belum muncul-muncul juga. Ketika saya susul ke kamar, saya dapati ada alat di kamar mereka, alat untuk memakai putau. Saya bilang pada mereka, kamu kalau terus pakai itu, bisa mati. Eh, saya malah dikira nyumpahin mereka mati.

+ Bagaimana ceritanya, mereka minta berhenti pakai putau?

- Saya pernah bilang, jika kalian bercita-cita main ke luar negeri, kalian harus bersih dari obat-obat seperti ini. Tahun 1999, akhirnya Bimbim minta: tolong dong Ma, pengen sembuh. Tetapi, kalau bisa jangan pakai dokter. (Bimbim takut dokter).

Kebetulan Pay (eks personel Slank, suami pencipta lagu Dewiq, dari grup musik BIP) baru saja sembuh dari kecanduan seperti Bimbim. Dia bisa sembuh, setelah berobat pada Pak Teguh Wijaya di Pulomas (Jakarta) dengan obat China.

Teguh Wijaya—anaknya juga pemakai—sudah ke mana-mana mencari obat untuk menyembuhkan anaknya sampai ke Israel, Kanada, Amerika, Australia. Eh, ketemu obatnya di China.

Sekali minum obat China itu—kalau tidak salah namanya Shin Ying—sepuluh kapsul sekali minum. Sedangkan sehari harus minum empat kali, jadi total per hari 40 kapsul. Baunya tidak enak betul obatnya.

Kaka lebih dulu meminta untuk disembuhkan. Bimbim belum mau, tetapi ketika kami pergi ke rumah Pak Teguh, Bimbim ikut datang menyusul. Pak Teguh itu rupanya mengerti betul bagaimana menghadapi pemakai seperti mereka. Maka dia bilang, kalau masih punya ”barang” habisin saja dulu. Kalau sudah habis, baru berobatlah. Selang tiga hari setelah Kaka berobat, baru Bimbim menyusul, setelah ”menghabiskan” lebih dulu barangnya.

+ Mahal harga obatnya?

Biaya pengobatan itu, per orang 20 juta selama 10 hari, menghabiskan 400 kapsul obat China. Alhamdulillah, setelah minum obat ”Shin Ying”(?) selama sepuluh hari, mereka segar. Selama penyembuhan itu, mereka kami jaga ketat. Satu orang dijaga dua orang. Karena memang, ketika mereka menjalani penyembuhan itu, pada hari kedua biasanya mereka ”minta”.

Pada hari kedua pengobatan, Bimbim lepas dari pengawasan dan ia menelepon ”bandar” putau. Padahal, saya menjaga ketat mereka dan saya sampai sempat sewa polisi agar tak ada bandar yang mendekati mereka.

Ketika melihat bandar itu datang, saya lalu teriak: polisi! Itu bandar.... Bandar itu pun terbirit-birit, ambil langkah seribu dan 15 gram putau pun ia buang ke sungai di dekat rumah.

Hari keempat, Bimbim dan Kaka yang sudah mulai kuat menahan sakau berkat obat China iseng-iseng menelepon bandar itu: ”kirim barang dong...,” Bandar bilang, tak berani, soalnya ketika datang tempo hari, ia diteriakin bunda, hingga ”merugi” 15 gram putau lantaran dibuang di kali.

Sekarang sudah delapan tahun mereka sembuh semenjak tahun 2000.

+ Bagaimana bisa tahu mereka kini tak memakai lagi?

- Kelihatan dong. Kan saya selalu melakukan tes urine mereka. Dari lima anggota Slank, hanya Abdee dan Ridho saja yang tak dites urine lantaran mereka memang tidak memakai.

+ Kapan mengetes urine mereka, setiap mau berangkat konser?

- Tidak. Saya selalu mengadakan ”sidak” (inspeksi mendadak, laksana KPK saja), tes urine tiba-tiba. Maka mereka takut.

+ Pakai apa alat pengetesnya?

- Seperti alat tes kehamilan saja. Ada alat untuk tes ganja, putau, sabu, ada juga heroin. Bisa dibeli di apotek. Memang mahal harganya, sekitar Rp 40.000 per alat. Bayangkan, kalau mengetes mereka harus pakai alat tes untuk ganja, untuk heroin, untuk putau. Kan mahal juga? Sampai sekarang Bunda masih terus melakukan sidak....

+ Masih punya cita-cita lain dalam hidup Bunda, meski sudah umur 71?

- Untuk Slank? Sudah tercapai, go international. Waktu tahun 2006 kita diundang untuk show di AS, akhirnya ketemu dengan gurunya Ridho. Ridho pernah belajar gitar di Los Angeles. Setelah ngobrol-ngobrol, akhirnya kejadian, tahun 2007 rekaman di AS. Tahun 2008, show di 15 kota di Amerika Serikat.

Cita-cita untuk diri saya? Ingin mati tidak dalam keadaan sakit. Saya tak ingin berhenti mengikuti Slank, ke mana pun mereka pergi....

0 komentar:

Posting Komentar